Ramalan Menakjubkan Dari Seorang Kakek Tentang Peluang Banjir Scatter Hitam Pada Mahjong Ways 2 Di Situs Indoraja Ternyata Beneran Terjadi
Kata pembuka di warung pinggir jalan
Sore itu gerimis. Jalan berdebu berubah jadi lumpur lengket, sedangkan warung kopi di pojok gang masih setia menguapkan aroma robusta yang pahitnya pas. Saya datang tanpa rencana. Niatnya cuma rehat sebentar, menyembunyikan diri sejenak dari notifikasi yang tidak pernah tahu waktu. Di meja sebelah, tiga orang sibuk menatap layar. Bukan nonton film. Mereka menunggu momen yang katanya “hitam manis” itu. Scatter hitam. Katanya bikin dada agak berdebar, mirip detik sebelum dosen membagikan nilai.
Di kursi paling ujung, seorang kakek bersarung duduk santai. Rambut putihnya rapi, kacamata tebal, senyum yang tidak buru buru. Ia tidak memegang ponsel. Tapi justru ia yang lebih banyak ditanya. "Kapan lagi banjirnya, Kek?" tanya anak muda yang memelihara kumis tipis. Kakek mengangkat alis, menyeruput kopi, dan pelan pelan mulai bercerita.
Si kakek muncul dengan cerita aneh
Katanya ia tidak main, tidak ikut taruhan, tidak juga menghabiskan malam berlama lama di depan layar. Ia hanya pengamat, seperti penjaga pintu yang tahu siapa saja mondar mandir. Ia menyebut Mahjong Ways 2 seperti pasar malam. Ramai, berisik, penuh kejutan. Lalu ia bicara tentang peluang. Bukan angka matematika yang ketat, lebih seperti cuaca. Kalau pagi panas, sore bisa saja hujan deras. Kalau awal permainan datar, tengahnya bisa meledak kejutan.
"Scatter hitam itu kayak kabar yang datang tanpa salam," ujarnya. "Tapi ada tanda tanda. Bukan kepastian, lebih mirip pola. Kecil, susah dilihat kalau terlalu semangat." Kami mengangguk, pura pura paham. Padahal otak saya masih sibuk menautkan kata pola dengan kebiasaan orang yang suka menyebut jam baik.
Apa sih scatter hitam itu
Ini bagian yang bikin penasaran. Scatter hitam, bagi banyak pemain, seperti lampu oranye yang membuka jalan ke kejutan berikutnya. Bukan satu dua kali saya mendengar cerita yang nyaris seperti legenda. Munculnya memantik semangat, muncul lagi bikin ruangan mendadak riuh. Di Mahjong Ways 2, simbol itu jadi semacam ikon. Tanda yang mengawali bab baru. Bukan jaminan uang turun dari langit, tentu saja. Tapi perubahan atmosfer terasa jelas.
Kakek melanjutkan: "Kau harus perhatikan ritme. Jangan lapar. Dengarkan jeda." Dia tidak memberikan rumus. Tidak ada daftar langkah. Hanya instruksi ringan seperti nasehat orang tua yang lebih peka membaca tempo ketimbang membedah mesin. Anehnya, justru itu yang membuat saya ingin mencoba mengamati. Bukan mengejar hasil, melainkan menunggu cerita berkembang.
Menyusun eksperimen ala tukang ngopi
Kami membuat kesepakatan dadakan. Seorang teman membuka aplikasi, memilih ruang bermain di Indoraja, lalu menyiapkan skenario yang tidak kaku. Durasi sedang. Anggaran wajar. Tidak balapan. Kakek meminta kami mencatat. Catatan sederhana. Berapa lama sampai simbol pertama muncul. Bagaimana jeda antar kejutan. Kapan musik dalam game seakan berganti kunci. Kami menertawakan arahan terakhir, tapi tetap mengangguk. Kadang yang terasa konyol justru paling membekas.
Saya yang jadi pencatat. Tangan gemetar sedikit. Mungkin karena kopi, mungkin karena rasa ingin tahu yang tumbuh terlalu cepat. Teman saya memulai. Putaran pertama lewat seperti angkot lewat gang sempit. Tidak ada yang spesial. Putaran kelima masih tenang. Kami mulai bercanda soal cuaca. Lalu kakek mengangkat telapak tangan, menyuruh kami diam sejenak.
Putaran yang menguji sabar
Menunggu itu menjemukan. Ada jeda lima belas detik yang terasa seperti lima belas menit. Papan bergerak, simbol berganti, suara renyah, lalu diam lagi. Kakek tidak berubah raut. Ia hanya menatap, seolah layar itu warung tua yang pernah ia datangi bertahun tahun lalu. "Sabar itu bukan berhenti, tapi berjalan pelan," katanya tiba tiba. Saya tidak menulis kalimat itu di catatan, tapi entah kenapa menancap.
Di sekitar kami, suara obrolan tetangga warung lalu lalang. Ada yang bahas harga cabai. Ada yang mengeluh sinyal. Ada yang memuji gorengan yang garing. Semua bercampur jadi latar, seperti orkes kecil yang tidak pernah latihan, namun tetap hidup.
Ketika pola mulai terlihat
Sekitar menit ke delapan, layar menunjukkan rangkaian yang membuat saya menoleh lebih dekat. Bukan spektakuler, tapi konsisten. Simbol simbol tertentu muncul seperti pemain figuran yang mulai sering masuk frame. Kakek menyipitkan mata. "Rasanya ada arus menuju satu titik," ucapnya. Teman saya hanya tersenyum canggung. Kami tidak tahu harus menaruh harap setinggi apa. Di sinilah, menurut kakek, banyak orang kepleset. Terlalu cepat menilai.
Dua putaran berikutnya makin padat. Tidak liar, tidak juga hambar. Lalu, tanpa drum roll, scatter hitam pertama menyapa. Pelan, tapi jelas. Ruangan mendadak hening sepersekian detik, lalu desah panjang. Saya menulis angka waktu. Teman saya menekan bibir, antara senang dan takut berharap. Kakek mengangguk, seperti guru yang melihat muridnya akhirnya paham satu bab sederhana.
Indoraja dan ruang tunggu virtual
Salah satu alasan kami memilih Indoraja, kata teman saya, karena suasananya rapi. Bukan rapi ala kantor pajak, lebih seperti pasar yang penjaganya ramah. Antarmukanya familiar. Alurnya tidak terlalu bertele tele. Ini penting, sebab orang mudah lelah jika tersesat. Di ruang tunggu virtual itu, kesabaran diuji lagi. Scatter hitam kedua muncul lebih cepat dari yang kami kira. Tidak brilian, tapi cukup bikin dahi berkerut dan bibir tidak jadi datar.
Kakek tetap tidak bereaksi berlebihan. "Dua tidak berarti banjir," katanya, "tapi dua bisa jadi pintu." Kami tertawa kecil. Tawa yang menahan diri, seperti orang yang baru ingat belum menjemur pakaian saat langit menggelap.
Antara ramalan dan realita
Lalu datang momen yang belakangan sering diulang ulang oleh anak anak warung. Putaran itu tidak berisik. Tidak ada sorak. Hanya rangkaian yang tiba tiba ngeklik. Seolah bagian bagian kecil menemukan pasangannya. Scatter hitam ketiga muncul, menyusul keempat. Bukan ledakan besar, tapi deras. Konsisten seperti hujan yang tidak kunjung berhenti. Ini yang disebut kakek sebagai banjir kecil. Banjir yang tidak menenggelamkan rumah, tetapi membuat halaman berkilat.
Apakah itu hasil ramalan kakek? Ia tertawa. "Bukan ramalan. Hanya menebak cuaca. Ada panas, ada angin, ada awan menebal. Kau bisa salah lihat, tapi kadang tepat. Yang penting mata jangan terlalu lapar." Kalimat terakhir terdengar seperti puisi, meski ia mengucapkannya tanpa gaya. Saya menulisnya juga, takut lupa.
Suara para penonton dadakan
Ketika cerita itu menyebar, warung makin ramai. Ada yang datang karena penasaran. Ada yang sengaja ingin menjemput hoki. Ada pula yang setia jadi penonton, menikmati riuh rendah tanpa ikut campur. Mereka bertanya pada kakek, berharap ada jam jitu atau trik rahasia. Ia selalu memberi jawaban yang tidak memuaskan siapa siapa, namun justru menenangkan. "Dengarkan ritme. Jangan kejar bayangan. Kalau lelah, berhenti. Kalau suasana tidak enak, pindah hari."
Seorang bapak yang baru pulang kerja bercerita, ia mencoba di rumah semalam. Tidak ada banjir. Hanya gerimis. Ia tertawa sendiri, memegang cangkir. "Mungkin saya kurang sabar," katanya. Kakek menggeleng. "Mungkin suasanamu tidak cocok. Game itu juga butuh suasana. Tempat, waktu, kepala yang jernih." Obrolan kecil itu terdengar sederhana, tetapi anehnya terasa masuk akal.
Catatan akhir buat yang penasaran
Apa pelajaran dari sore di warung itu? Mungkin begini. Mahjong Ways 2 punya cara bercerita sendiri. Scatter hitam bukan sekadar ikon yang dikejar. Ia juga semacam tanda baca. Titik koma yang memecah kalimat dan memberi ruang napas sebelum kejutan berikutnya. Kita sering melupakan jeda, terlalu buru buru ingin sampai, padahal cerita yang enak justru berkat tikungan kecil yang tak terduga.
Apakah banjir scatter hitam bisa diundang setiap hari? Pertanyaan ini muncul berkali kali, seperti iklan yang tidak bosan lewat. Jawaban jujurnya ya tidak tentu. Ada hari yang terang, ada hari yang kusam. Ada momen ketika pola terasa mengalir, ada saat semua seperti kabur. Di Indoraja, di tempat lain, esensinya sama. Yang membedakan biasanya kepala dan suasana. Kita memilih berhenti, lanjut, atau ganti rute. Kakek bilang, bermain adalah urusan irama. Kalau musiknya tidak cocok, jangan memaksa joget.
Saya menutup catatan ketika senja habis. Warung merapikan bangku. Kakek berdiri, merapikan sarung, lalu pamit tanpa drama. Teman saya masih menatap layar yang kini kembali tenang. "Kau akan menulis ini?" tanyanya. Saya mengangguk. Bukan karena ingin membuat manual, melainkan ingin menangkap rasa. Rasa ketika ramalan bukan tentang menundukkan peluang, tetapi belajar menafsir momen.
Esok pagi mungkin hujan lagi, mungkin juga cerah. Scatter hitam bisa muncul, bisa juga absen. Namun sore itu, di warung pinggir jalan, kami melihat bagaimana cerita kecil bersatu dengan bunyi gelas, tawa pelan, dan kesabaran yang tidak mencolok. Banjirnya memang datang. Tidak mengamuk, tapi cukup membuat kami percaya bahwa kadang pengamatan lama dan kopi panas mampu membaca bahasa kecil di balik layar.