Sastro Penjual Sarapan Mendapatkan Rp 250 Juta Dari Scatter Hitam Mahjong Ways 2 Langsung Cairkan Dana Via Qris Saat Bermain Di INDORAJA

Merek: INDORAJA
Rp. 10.000
Rp. 10.000 -90%
Kuantitas

Sastro Penjual Sarapan Mendapatkan Rp 250 Juta Dari Scatter Hitam Mahjong Ways 2 Langsung Cairkan Dana Via Qris Saat Bermain Di INDORAJA

##konten##

Pagi Yang Selalu Bau Telur Dadar

Jam lima lewat sedikit, gang kecil di belakang pasar sudah mulai bising. Sendok kena wajan. Kompor biru mendesis. Sastro berdiri di depan etalase kaca yang suka berembun, menata nasi uduk, telur dadar, tempe orek, timun, sambal kacang. Ia bukan seleb, bukan boss besar. Ia penjual sarapan. Biasa saja. Tapi pagi itu lirih-lirih bisik pembeli berubah lebih penasaran. Ada cerita baru yang menyelinap lewat asap gorengan. Cerita tentang semalam. Tentang layar ponsel. Tentang sesuatu yang disebut scatter hitam di Mahjong Ways 2.

Mahjong Ways 2 belakangan jadi semacam kata sandi. Bukan semua orang paham betul jalannya, tapi hampir semua pernah dengar. Sehari sebelumnya, Sastro merapikan meja lipat sambil bercerita pendek ke pedagang rokok sebelah, seperti iseng. Katanya, ia coba main sebentar di INDORAJA, karena di grup keluarga ada sepupunya yang cerita soal tampilan, soal musik latar, soal ikon-ikon yang menurut mereka lucu. Sastro menanggapi biasa. Hidupnya lebih sering diukur dari habis berapa kilo beras untuk nasi uduk. Bukan soal ikon.

Sore Yang Basi Lalu Malam Yang Tiba

Sore itu pelanggan sepi. Hujan turun. Gerimis menyiram sisa minyak di wajan, menimbulkan suara kecil, rrrt rrrt. Sastro menutup lapak lebih cepat. Ia bosan menonton berita, bosan komedi yang gitu lagi. Lalu ia membuka ponsel, masuk ke INDORAJA. Ada notifikasi promo entah apa. Bagian itu ia lewati. Katanya, ia cuma ingin lihat seperti apa sih ramai-ramai orang membicarakan Mahjong Ways 2 itu. Layar vertikal. Jari telunjuknya berhenti di ikon putih keemasan. Musik kecil muncul. Ritme yang ganjil, tapi menenangkan. Ia duduk. Lalu lupa jam.

Orang bisa berdebat panjang tentang istilah, tetapi buat Sastro, scatter hitam itu bukan teori. Ia pengalaman. Kata hitam di sini bukan murung. Lebih seperti pintu yang tiba-tiba kebuka di koridor yang biasanya tertutup. Waktu pertama muncul, Sastro mengira itu hanya hiasan. Lalu muncul lagi. Berturut. Di momen yang tidak ia rencanakan. Ia menatap layar, merasa ada sesuatu yang mengalir cepat, semacam degup yang pindah ke jari. Seseorang di kepala berbisik, sudah itu saja, cukup. Orang di hati tidak setuju. Masih ingin tahu.

Ruang Tamu Menjadi Ruang Takjub

Ruang tamu Sastro sederhana. Kipas berdengung. TV mati. Lampu agak temaram. Ponsel dipegang dekat, mata setengah terpejam, entah karena lelah atau sekadar takut ketinggalan momen. Saat ikon-ikon di layar berhenti, ia melihat angka yang tidak dia hapal bentuk panjangnya. Jarang sekali Sastro melihat digit sebanyak itu di satu tempat. Ia diam. Lima detik. Sepuluh. Lalu otaknya mulai merapikan angka. Diulang-ulang dalam hati. Dua ratus lima puluh juta. Ia menelan ludah. Bukan karena lapar. Karena gemetar yang susah ditata.

Begitu sadar, Sastro langsung mencari tombol yang katanya bisa memindahkan hasil ke dompet digital. Ia menemukan menu itu. Ada opsi QRIS. Nama yang selama ini hanya ia lihat di stiker warung kopi dan kasir minimarket. Ia pikir, masa iya bisa segampang itu. Ponsel bergetar. Ia mengikuti petunjuk, menautkan akun yang biasa ia pakai untuk bayar beras atau top up. Dalam menit-menit yang terasa lama, layar menampilkan notifikasi berhasil. Ada angka masuk. Rasa tegang berubah jadi pandang kosong yang basah. Ia tidak teriak. Ia duduk lebih lama. Lalu tertawa kecil, seperti tak ingin membangunkan tetangga.

Pagi Setelah Malam Itu

Esoknya, Sastro tetap bangun di jam yang sama. Tangan tetap akrab pada ulekan, minyak, ketupat. Tapi ada detail lain. Gerak tubuhnya lebih ringan, langkahnya lebih tenang. Ia membayar utang ke pemasok beras tanpa menawar. Satu kantong plastik besar berisi daun pisang baru tiba. Ia pesan etalase kaca yang lebih tebal, rak piring tambahan, dua kompor. Lalu ia memesankan seragam sederhana untuk dua anak muda yang biasanya membantu di akhir pekan. Ia ingin menambah menu. Bubur ayam. Lontong sayur. Satu lagi menu manis yang belum ia putuskan.

Kita bisa saja menyusun teori panjang tentang peluang, pola, momen. Tapi Sastro akan bilang begini: kadang hidup seperti jalan kecil berlubang yang tiba-tiba mulus beberapa meter. Tidak selalu. Hanya sesekali. Ia tidak mau pura-pura paham mesin di balik Mahjong Ways 2. Ia juga tidak mau membual soal rumus. Ia tahu cerita orang bisa beda. Ada yang senyum. Ada yang sebal. Ada yang mangkel. Itu sebab ia tidak memberi khutbah. Ia cuma merapikan kisahnya sendiri sambil membungkus nasi uduk.

Tetangga, Gosip, Lalu Senyum

Sore itu dua pedagang sebelah mampir, pura-pura tanya resep sambal. Topiknya tentu melenceng ke ponsel. Apakah benar scatter hitam itu ada. Apakah warnanya memang hitam. Mengapa bukan merah atau emas. Sastro tertawa, menjawab sekenanya. Ia tidak ingin mengundang iri. Ia bilang, yang menarik justru rasanya. Saat ikon itu muncul, beda sekali. Seperti lampu kecil yang tiba-tiba klik di ujung lorong. Satu pedagang nyeletuk, kalau sudah klik, jangan lama-lama. Sastro mengangguk. Ia paham. Malam itu memang selesai cepat. Hanya rasa penasaran yang tersisa.

Yang berubah bukan jam bangun. Bukan debu di etalase. Bukan teriakan langganan kecil yang minta tambahan kerupuk. Yang berubah barangkali cara Sastro menatap hari. Ia mulai memikirkan simpanan, perbaikan atap, tabungan sekolah anak. Mungkin juga libur sehari dalam seminggu untuk tidur siang. Uang sebanyak itu bisa membuat orang menoleh ke arah lain. Namun keesokan paginya, bau telur dadar masih lebih kuat daripada bayangan saldo. Itu cara paling masuk akal untuk tetap waras.

Soal Cerita Yang Lekas Membesar

Di grup kampung, nama Sastro naik. Orang menandai akun, membagi tangkapan layar, menambah angka sendiri. Ada yang mengira jumlahnya lebih besar, ada yang menuduh settingan. Sastro tidak membantah atau membenarkan. Ia hanya menulis singkat, terima kasih, doakan warung lancar. Di kios rokok, obrolan bergeser ke faedah QRIS, betapa mudahnya memindahkan uang tanpa ribet. Orang-orang tiba-tiba ingin belajar memindai. Dunia kecil di gang itu mengadopsi kebiasaan baru tanpa rapat RT.

Nama boleh ramai. Cerita boleh wira-wiri. Pada akhirnya, Mahjong Ways 2 tetap saja sebuah permainan. Sastro tahu itu. Ia menulis catatan kecil untuk dirinya sendiri. Jangan terjebak pada rasa ingin lagi. Jangan membuat rencana besar karena rasa lapar yang mendadak. Ia membiarkan rasa syukur bekerja pelan. Ia membeli toples kaca untuk menyimpan uang receh kembalian. Ia menempelkan stiker QRIS di etalase, bukan untuk memamerkan kemenangan, melainkan supaya pelanggan bisa bayar tanpa uang pas. Praktis. Itu saja.

Menutup Hari, Membuka Besok

Malam berikutnya Sastro duduk di teras. Ia memegang ponsel lebih santai. Tidak dikejar apa-apa. Hujan sudah berhenti. Sisa gerimis melekat pada ujung daun singkong di halaman kecil. Ia memikirkan rute belanja ke pasar, daftar bumbu, harga minyak goreng. Mahjong Ways 2 tidak melompat-lompat di kepalanya, walau sesekali bayangan scatter hitam itu lewat seperti kucing yang mengintip. Ia tersenyum. Tangannya menulis ulang daftar belanja. Besok masih jam lima. Pagi masih bau telur dadar. Hidup lanjut.

Epilog Yang Tak Selesai-Selesai

Kisah seperti ini mudah tumbuh jadi legenda. Orang menambahkan rempah sesuai selera. Sastro tidak keberatan. Ia hanya ingin warungnya ramai, anak-anaknya sehat, kompor tidak ngadat. Soal scatter hitam, ia akan mengingatnya sebagai kejutan yang mendarat di malam hujan. Soal QRIS di INDORAJA, ia mengingat prosesnya ringkas, tanpa banyak tingkah. Sisanya, ya kembali ke piring, ke sendok, ke tawa pelanggan yang minta sambal ekstra. Dunia yang kecil. Tapi cukup.

© Copyright 2025 | INDORAJA