Kisah Fantastis Seorang Buruh Pabrik Berhenti Kerja Karna Berhasil Cuan Hingga 355.830.120, Dah Berhasil Buka Usaha Sendiri
Pagi yang lebih pelan dari jam dinding
Di sebuah rumah petak yang catnya mulai pudar, seorang buruh pabrik bernama Raka bangun lebih cepat dari matahari. Kebiasaan lama masih menempel. Alarm berbunyi, tangan refleks mencari tombol snooze, lalu berhenti di udara. Tidak ada absen hari ini. Tidak ada bus karyawan yang harus dikejar. Tidak ada helm proyek. Pagi ini terasa melambat, seperti jam dinding yang sengaja ditahan jarumnya.
Di meja, ada cangkir kopi dan catatan angka. Raka menatapnya sebentar, senyum tipis muncul, agak kikuk. Di sudut kertas itu ada tulisan tebal: 355.830.120. Angka yang dulu terasa mustahil, seperti cerita yang sering dibungkus hiperbola di grup WhatsApp keluarga. Sekarang tinggal bekas tinta dan ingatan. Sisa degupnya masih jelas.
Cerita bermula dari ruang istirahat
Semua bermula di ruang istirahat pabrik, di antara bunyi mesin yang tidak pernah lelah. Teman Raka, Tegar, memperlihatkan sebuah permainan di ponselnya. Bukan sekadar pengusir bosan. Ada papan, simbol, irama cepat. Namanya Mahjong Ways 2. Raka memandang ragu, lalu penasaran, lalu lupa waktu. Bukan karena pamer saldo. Bukan juga soal keberanian yang tiba-tiba tumbuh. Lebih ke rasa ingin tahu yang sulit ditepis. Seperti saat kecil menemukan koin jatuh di bawah lemari dan mencoba mengailnya pakai penggaris.
Ia belajar pelan. Bukan yang jagoan. Banyak salahnya. Salah baca. Salah momen. Salah menahan diri. Tapi rasa penasaran membuatnya bertahan. Hingga satu malam, ia bertemu istilah yang terdengar seperti nama kode rahasia. Scatter hitam. Katanya jarang. Katanya bikin napas tertahan.
Scatter hitam dan bunyi yang tidak biasa
Malam itu hujan turun. Tipis saja. Jalan gang basah, lampu kuning merunduk. Raka duduk di lantai dekat jendela. Ponsel tua sudah diisi penuh. Ia membuka Mahjong Ways 2 seperti orang mengetuk pintu rumah teman lama. Tidak ada jaminan apa-apa. Hanya ritme yang ia hafal perlahan. Sentuh. Tahan. Lepas. Hitung jeda. Ulangi. Terkadang salah. Terkadang benar. Terkadang diam dulu. Lalu muncul itu. Simbol yang katanya jarang. Scatter hitam.
Sekali saja sudah bikin jantung melompat. Dua kali membuat punggung menegak. Saat yang ketiga datang, ia berhenti bernapas. Bukan karena jumlah. Karena efeknya aneh. Ruangan sepi, tapi di kepala serasa ramai. Ia tidak merayakan dengan teriak. Hanya menatap layar yang bercahaya terlalu terang untuk mata yang belum tidur. Di luar, suara air dari talang rumah serak-serak. Di dalam, Raka mencatat jeda waktu. Kebiasaan lama dari pabrik ikut terbawa. Mengukur ritme. Mencari pola yang sebenarnya tidak mau mengaku sebagai pola.
Angka yang pelan-pelan masuk akal
Orang suka bilang semua tiba-tiba. Tidak selalu. Pada Raka, angka itu tumbuh seperti padi di halaman tetangga. Tidak kelihatan setiap hari, tapi berubah pelan. Ia berkali-kali ragu. Berkali-kali hampir berhenti. Ada malam-malam sunyi saat layar terasa memunggungi. Ada pagi ketika rasa bersalah menyelinap lewat celah pintu. Namun rasa ingin tahu tetap duduk di sebelah. Menyodorkan saran. Minta dicoba lagi.
Hingga catatan kecilnya menunjukkan jumlah yang ia tidak berani sebut keras. 355.830.120. Ia menulisnya hati-hati, seperti menulis nama di formulir penting. Jari sempat gemetar. Angka ini bukan trofi. Hanya penanda. Seperti jejak kaki di pasir. Bisa hilang kena ombak, bisa juga difoto biar nanti ada bahan cerita.
Keputusan yang tidak dibuat sekali duduk
Berhenti kerja tidak terjadi di meja HRD. Keputusan itu lahir di dapur, di sela bau bawang dan suara ketel yang mendesis. Istrinya menatap Raka seperti menatap kabar yang setengah dipercaya. Kamu yakin. Raka mengangguk, tapi mata masih berpikir. Ia tidak mengangkat dada. Tidak menantang langit. Ia hanya menengok punggung tangan. Kapalan bekas kerja mengingatkannya pada jam lembur dan bau oli. Lalu ia memikirkan satu hal sederhana. Apakah waktu bisa dipakai untuk sesuatu yang lain. Usaha kecil mungkin. Yang bisa ditinggal sebentar untuk jemput anak.
Besoknya Raka masuk pabrik seperti biasa. Mengucap terima kasih pada mesin yang telah lama jadi kawan. Pada seragam yang setia menahan keringat. Pada jam dinding yang diam-diam ikut jaga suasana. Ia pamit. Tidak dramatis. Tidak ada tepuk tangan. Hanya beberapa pelukan singkat dan janji main futsal akhir pekan.
Usaha yang lahir dari percakapan singkat
Raka memilih membuka usaha minuman dingin dan camilan. Bukan ide besar. Hanya teras rumah yang disulap jadi etalase. Satu kulkas pinjaman. Dua termos. Tiga rasa sirup yang murah meriah. Ia menulis menu pakai spidol yang mengeluarkan bau menyengat. Anak tetangga mampir, pura-pura minta cicip. Dari mulut ke mulut, warung kecil itu punya pelanggan. Tidak selalu ramai. Pagi kadang sepi. Siang agak lumayan. Malam lebih hidup. Lalu datang pesanan lewat pesan singkat. Titip yang kemarin. Pakai es lebih banyak.
Di sela itu, Mahjong Ways 2 masih ia buka. Bukan sebagai tongkat utama. Lebih sebagai lahan yang sudah ia pahami siklusnya. Ia tidak mengejar. Ia menunggu. Mirip menunggu pelanggan pertama. Mirip menunggu hujan turun. Ada hari kosong. Ada hari yang mendadak ramai. Ia belajar membagi napas.
Mengurai mitos, menahan euforia
Banyak orang datang membawa cerita. Ada yang percaya pada jam tertentu. Ada yang yakin pada urutan sentuh. Ada yang menyebut angka keberuntungan. Raka mendengarkan semua. Lalu menyaringnya sendiri. Di kepalanya, scatter hitam bukan jimat. Lebih mirip lampu merah yang kebetulan berubah hijau saat kita sudah siap menekan gas. Bisa terjadi. Bisa juga tidak. Jadi ia memilih tenang. Tidak semua tips harus dijajal hari itu juga. Tidak semua hasil pantas dipamerkan keras.
Ia punya kebiasaan baru. Jika layar mulai menguasai, ia mematikan ponsel, lalu beralih membuat adonan cireng. Suara minyak ketika menyambut adonan bisa menenangkan. Semacam penyeimbang. Ia menyebutnya rem darurat.
Saat angka berubah jadi kursi plastik dan etalase kaca
Dari angka-angka di kertas, satu per satu berubah bentuk. Kursi plastik untuk pembeli yang ingin duduk. Etalase kaca yang membuat kue tampak lebih rapi. Lampu putih agar malam tidak muram. Bahkan mural kecil yang dicat sepupunya. Bentuknya tidak terlalu simetris. Tapi justru itu yang bikin toko Raka terasa milik sendiri. Tidak seperti waralaba yang seragam.
Suatu sore, seorang ibu berhenti di depan warung. Ia menunjuk angka 355.830.120 di kertas yang diabadikan dalam bingkai sederhana. Raka tertawa, agak malu. Ibu itu menanyakan caranya. Raka menjawab singkat. Banyak sabar. Banyak mikir. Banyak berhenti juga. Lalu ia menambahkan, jangan semua dibakar untuk rasa ingin menang terus. Sisihkan. Ubah jadi sesuatu yang bisa disentuh. Kayak kursi ini, atau lampu itu.
Tentang ritme, jeda, dan cara Raka melihat layar
Ritme adalah kata yang ia bawa dari pabrik ke ponsel, lalu ke kasir. Di pabrik, ritme mesin mengatur langkah. Di Mahjong Ways 2, ritme sentuhan mengatur degup. Di warung, ritme pembeli mengatur stok es batu. Ia menemukan pola bukan karena diajari. Lebih karena terbiasa mengamati. Scatter hitam datang dalam ritme yang tidak mau ditebak. Justru itu yang bikin penasaran. Tapi Raka mencoba mengimbangi dengan jeda. Jeda membuat pikiran tidak lari terlalu jauh. Jeda membuat rasa syukur sempat hadir, tidak disalip cemas.
Malam-malam tertentu, ketika gang benar-benar sepi, Raka menyalakan ponsel. Mahkota, koin, dan simbol-simbol lain menari dalam layar kecil. Sesekali ia mendekatkan telinga, seolah bisa mendengar sesuatu yang lebih halus dari efek suara. Jika scatter hitam muncul, ia tidak langsung merayakan. Ia menatap, menarik napas, lalu menutup mata sebentar. Seperti menepuk bahu diri sendiri.
Apa yang dibawa pulang, selain angka
Raka sering bilang, yang ia bawa pulang bukan hanya angka. Ada keberanian kecil untuk tidak selalu mengikuti arus. Ada kesediaan untuk belajar lagi pada usia yang sudah malas membaca petunjuk. Ada rasa tanggung jawab yang justru makin berat, karena usaha kecil butuh tangan setiap hari. Mahjong Ways 2 memberinya ruang bereksperimen. Scatter hitam memberinya momen untuk percaya bahwa kejutan masih mungkin. Sisanya ia bangun dengan tangan sendiri.
Di warungnya sekarang, ada tiga foto kecil. Satu foto seragam pabrik tergantung di kursi. Satu foto etalase pertama yang tampak miring. Satu foto layar ponsel yang kebetulan cerah malam itu. Tiga foto ini bukan promosi. Hanya pengingat pada diri sendiri. Agar esok ketika bangun lebih pagi, Raka tidak lupa darimana ia berjalan.
Penutup yang tidak menutup apa-apa
Kisah ini tidak hendak memberi resep. Tidak semua orang perlu meniru Raka. Tidak semua jalan menuju angka besar harus melewati layar ponsel. Ada yang lebih nyaman tetap di pabrik. Ada yang lebih cocok meracik kopi. Ada juga yang baru menemukan diri di tengah malam ketika Mahjong Ways 2 menyala pelan. Semua sah, semua punya risiko. Raka memilih caranya sendiri. Ia menabung jeda, belajar dari ritme, dan mengubah sebagian hasil menjadi kursi, lampu, etalase.
Jika suatu saat angka 355.830.120 hanya tinggal cerita, warung itu masih akan berdiri. Di sana ada suara es batu yang jatuh ke gelas. Ada tawa anak kecil yang minta tambah sirup. Ada Raka yang menata ulang menu, menulis ulang harga, memperbarui stok, menutup ponsel, lalu membuka pintu bagi siapa saja yang ingin mampir. Scatter hitam mungkin lewat lagi. Atau tidak. Hidup tetap berjalan. Ritmenya kadang cepat, kadang pelan. Yang penting, Raka sudah menemukan cara untuk duduk lebih lama di teras rumahnya sendiri.