Kisah Seorang Guru Mendapatkan Scatter Beruntun Mahjong Ways 2 Yang Berujung Jackpot Besar Di Waktu Yang Tak Terduga
Pagi yang keras, siang yang sunyi
Bel masuk kedua baru saja selesai. Kapur menempel di ujung jari, bau spidol masih menggantung seperti janji yang belum ditepati. Kelas 9B ribut, lalu tenang, lalu ribut lagi, seperti ombak kecil yang tidak tahu harus berhenti di mana. Guru itu pulang ke ruang guru, menaruh buku nilai, merapikan kertas ulangan yang tebalnya membuat bahu terasa miring. Di meja, ada gelas kopi yang sudah dingin. Ia menatap jam. Masih ada waktu sebelum rapat dadakan. Lima belas menit yang ganjil. Sunyi seperti halaman kampus setelah upacara. Sunyi yang biasanya memanggil orang untuk melihat layar kecil di saku.
Ritual kopi dan layar kecil
Ia duduk, menyalakan ponsel, menyingkirkan notifikasi grup wali murid yang tidak pernah sepi. Namanya saja grup, isinya bisa apa saja. Di antara banyak ikon, ia memilih satu yang sejak beberapa bulan ini menjadi ruang pelarian. Mahjong Ways 2. Ada alasan kenapa ia betah. Bukan sekadar hiburan. Ada ritme yang enak diikuti. Ada perasaan bahwa tiap babak kecil menyimpan cerita baru. Ia menyesap kopi. Pahit, seperti sudah mengetahui akhir hari, tapi tetap diminum. Layar menghadirkan papan ubin. Simbol. Suara yang pelan. Ia menarik napas, lalu mulai.
Mengapa Mahjong Ways 2 membuatnya betah
Susah menjelaskannya ke rekan guru lain. Di sini, simbol mudah nyambung terasa seperti soal logika yang tidak ingin sepenuhnya jadi matematika. Ada momen ketika dua atau tiga ikon berbaris, lalu lenyap, lalu turun lagi elemen baru. Rasanya seperti memeriksa lembar jawaban siswa lalu menemukan pola kesalahan yang bisa dibetulkan. Tidak selalu tepat, tetapi sering memberi firasat. Kadang cepat, kadang lambat. Ia tidak memaksa. Seperti memberi kesempatan pada murid yang butuh waktu. Seperti mengatakan, coba lagi, mungkin baris berikutnya akan cocok. Mungkin hari ini, mungkin nanti sore. Tidak apa. Teruskan saja.
Pertanda itu bernama scatter hitam
Di antara yang berkilau, ada satu yang membuatnya berhenti berkedip. Scatter hitam. Simbol yang terasa serius. Bukan karena warna saja. Seolah membawa kabar dari ruang lain. Saat satu muncul, ia menegakkan punggung. Saat dua muncul, jantung menyesuaikan tempo. Ada kemungkinan. Saat tiga berkumpul, ruangan seperti bertukar suhu. Hening berubah jadi getar yang tidak terdengar. Ia ingat perasaan itu. Beberapa kali pernah singgah, lalu pergi tanpa pesan. Tapi hari ini lain. Entah kenapa, ia merasa suara kipas angin di langit ruang guru ikut memperlambat putaran. Mungkin cuma pikiran yang mencari alasan.
Beruntun di siang malas
Putaran berikutnya membawa satu lagi scatter hitam. Lalu lanjut. Layar merapikan diri. Simbol jatuh seperti hujan kecil. Bukan deras, tapi cukup membuat kemeja beraroma tanah. Scatter lagi. Beruntun. Ia tersenyum tipis. Tidak percaya, tapi juga tidak kaget. Seperti melihat murid paling pendiam angkat tangan dan menjawab tepat. Dua putaran kemudian, skenario aneh itu tetap berjalan. Baris dan kolom berunding di belakang layar, lalu menampilkan hasil yang terasa kebetulan, namun tidak sepenuhnya kebetulan. Ia menahan diri untuk tidak buru buru. Kursor diam. Jemari menunggu. Menikmati pola yang belum tentu terulang.
Antara hitungan dan firasat
Sebagai guru, ia paham angka bisa menipu kalau dipakai untuk menenangkan diri. Rata rata, persentase, peluang. Semua bisa dipilih untuk menjustifikasi keputusan. Tapi siang itu ia membiarkan firasat ambil tempat. Bukan karena ingin menantang logika. Justru karena ia ingin melihat logika berjalan sambil menutup mata. Ada rasa pasrah yang aneh. Seperti memberi nilai esai yang isinya serampangan tapi memiliki satu kalimat yang memaku. Satu kalimat yang membuat keseluruhan terasa hidup. Scatter hitam seperti kalimat itu. Tidak semua sesi membawa kalimat semacam ini. Bila datang, diterima saja. Jangan diceramahi berlebihan.
Gangguan kecil yang justru menambah tegang
Ponsel bergetar. Wali murid mengirim suara panjang. Tentang PR yang dianggap terlalu berat. Tentang anak yang begadang. Tentang harapan orang tua yang selalu ingin lebih, tetapi waktu terbatas. Ia mengetuk jeda. Menatap notifikasi tanpa membukanya. Mengembalikan fokus ke papan ubin. Ketika perhatian sempat terbelah, muncul lagi satu scatter. Hitam. Mengunci perhatian kembali. Seperti murid yang menatap guru tepat saat guru hampir menyerah menjelaskan rumus segitiga. Ada ikatan tak terlihat. Ia tersenyum. Maaf, Bu. Tiga menit saja. Nanti saya balas. Sekarang, izinkan saya menyelesaikan babak kecil ini.
Ledakan tenang di layar kecil
Tidak ada teriakan. Tidak ada pamer. Hanya angka yang bertambah. Lambat, lalu cepat, lalu lambat lagi. Terlihat biasa, tetapi memukul dada seperti lagu lama yang tiba tiba relevan. Ia tidak menghitung detailnya. Ia menikmati urutan pergeseran angka yang menari seperti notasi sederhana di buku paduan suara. Scatter hitam membawa babak khusus. Putaran gratis yang terasa seperti jam pelajaran tambahan tanpa absen. Muncul lagi simbol yang cocok. Deret membuka ruang. Tambah lagi. Angka menembus batas yang jarang terlewati. Tidak ada tepuk tangan. Hanya nafas yang disadari. Hanya meja yang mendadak terasa lebih luas.
Bayangan kelas yang ikut bersorak
Di benaknya, ia mendengar suara anak anak yang minta jam olahraga lebih lama. Ia ingat papan tulis penuh coretan. Ia ingat janji memperbaiki metode penjelasan sudut. Semua bercampur seperti mosaik yang membentuk wajah siang hari. Angka terus bergerak. Ia tidak berencana mengubah hidup. Hanya ingin siang malas menjadi cerita kecil yang bisa diceritakan sambil tertawa pelan di kantin. Bahwa pernah ada momen ketika simbol simbol bekerja sama seperti regu paduan suara. Bahwa scatter hitam sempat mampir dan tidak pelit. Bahwa rezeki kadang datang seperti tamu yang malu malu, masuk tanpa mengetuk.
Pelajaran yang tidak ada di silabus
Aneh juga. Dalam kepala, ia menyusun kalimat seperti membuat kisi kisi ujian. Apa gunanya momen ini. Apa yang bisa dibawa ke ruang kelas. Mungkin tentang sabar. Atau tentang menerima ritme. Tidak semua putaran harus dikejar. Ada sesi yang layak ditinggal. Ada hari yang lebih baik ditutup lebih cepat. Hari ini berbeda. Skenario berpihak. Ia menahan diri untuk tidak mengubah tempo. Tidak memamerkan hasil ke siapa pun. Diam saja. Simpan di kepala. Jadikan catatan kaki. Supaya besok, ketika murid bertanya kenapa rumus ini terlihat susah, ia bisa menjawab lebih lembut. Tenang. Pelan.
Setelah angka berhenti
Putaran berakhir. Ruang guru kembali jadi ruang guru. Kipas angin bergeming. Notifikasi wali murid masih menunggu. Ia menulis balasan yang sopan. Menawarkan cara mengatur jadwal belajar. Menjanjikan bahan latihan yang lebih manusiawi. Tidak ada yang tahu bahwa beberapa menit sebelumnya ada ledakan tenang di layar kecil. Ia menutup ponsel. Kopi sudah betul betul dingin. Ia minum juga. Rasanya lucu. Pahit yang tidak menusuk. Seperti hari yang tiba tiba lebih ringan. Seperti langkah menuju kelas berikutnya yang entah kenapa terasa tidak berat.
Apa yang sebenarnya kita kejar
Pertanyaan itu muncul saat ia berjalan melewati koridor. Apakah yang dicari angka, rasa, atau keduanya. Mahjong Ways 2 mungkin hanya gim bagi banyak orang. Bagi dia, hari ini, ia jadi cermin kecil. Menunjukkan bahwa pola akan datang dan pergi. Scatter hitam bisa muncul tanpa aba aba lalu memanjangkan napas kita. Di luar layar, hidup bekerja serupa. Ada hari terjal, ada hari teduh. Kadang yang membuat kita bertahan bukan hadiah besar, melainkan rasa bahwa sesuatu bisa terhubung rapi walau sebentar. Cukup lama untuk memberi harapan yang masuk akal.
Catatan kecil untuk besok
Di meja, ia menulis tujuh kata pada secarik kertas. Jaga ritme, beri ruang, terima kejutan. Tidak ditandatangani. Tidak ditempel. Cuma diselipkan di halaman tengah buku nilai. Supaya besok, saat matahari lagi lagi pura pura baru, ia ingat bahwa siang malas bisa mengajak siapa saja berjalan pelan. Bahwa simbol yang mudah nyambung bukan sekadar trik visual, melainkan cara sederhana untuk percaya. Bahwa scatter hitam tidak selalu datang. Namun ketika datang, kita sudah belajar untuk menunggu tanpa cemas, menyambut tanpa berlebihan, lalu kembali bekerja seperti biasa. Karena pekerjaan juga butuh kita pulang.